Latest Stories

Last Summer | A Story [IND]



image source: here




 Sam tertunduk dan tenggorokannya tersumbat. Ia duduk dengan ringkih di sudut ruangan yang lembap itu. Tangan dan badannya mulai bergetar lembut. Air mata mulai mengalir dan perasaanya tercampur aduk. Ia merasa sangat sedih, lebih dari sekedar sedih.



**



“Pagi Sam.”

“Oh, pagi Janet,” jawab Samantha sambil melempar senyumnya yang manis pada Janet – si gadis berambut pirang yang suka berceloteh. Ia menjejalkan sepotong sandwich besar ke mulutnya yang mungil.
“Apa yang akan kita buat hari ini? Aku dengar Sir Andrew pergi ke Dubai untuk bisnis trip,” tanya Janet dengan mulut penuh roti. Sam hanya mendengus sambil mengangkat bahunya. Jam menunjukkan pukul 9 pagi, seharusnya ini waktunya mengambil paper di ruangan Sir Andrew, tapi memang benar beliau sedang pergi ke luar negri.  
“Sam, kau jadi pergi ke Korea?” Janet tidak bisa berhenti bicara meskipun sedang makan. Sam tertawa geli melihat secuil selada yang jatuh dari mulutnya.
“Entahlah, Janet, aku masih belum yakin soal itu, tapi aku sudah berjaga-jaga kalau nanti aku akan ditugaskan kesana.”

Tak lama kemudian, seorang wanita berusia 30an dengan wajah cantik masuk ke ruangan dan sekejap semua mata tertuju padanya.
“Hai semua, Sir Andrew hari ini sudah berangkat ke Dubai untuk bisnis trip sampai 2 minggu kedepan, kalau ada pekerjaan yang perlu dilaporkan bisa langsung menghubungi saya,” kata Miss Irene, asisten pribadi Sir Andrew yang cantik.

“Oh ya, Samantha Kim, masuk ke ruangan saya ya,” katanya pada Sam, lalu melempar senyum kepada semua jurnalis yang ada di ruangan itu lalu berbalik masuk ke ruangan.

You got it, girl!” ujar Janet senang. Sam hanya tersenyum pelan.

“Sam, ini tiket penerbangan, dan juga detail dari semua hal yang perlu kamu lakukan di Korea Selatan nanti. Sir Andrew bilang kamu punya keturunan Korea ya? Seharusnya kamu mahir kan bicara Bahasa Korea?” tanya Miss Irene. Sam tertawa dan menggeleng.
“Ayahku memang dari Korea, tapi aku sudah dari lahir tinggal disini, dan tidak pernah pulang ke Korea, dan aku sama sekali tidak bisa Bahasa Korea,” jawab Sam malu. Miss Irene tertawa dan ia pun menunjukkan secarik tiket penerbangan atas nama Joshua Park. Mata Sam membesar dan ia menelan ludah.
“Kamu nanti akan pergi dengan Joshua Park, kamu kenal dia kan? Dia seorang keturunan Korea juga, tapi sepertinya dia bisa berbahasa Korea.”
Sam mengangguk pelan, Miss Irene tersenyum seakan bisa membaca pikirannya.
“Jangan sedih begitu, Sam, dia orang yang baik sebenarnya, hanya saja tabiatnya agak kaku. Mungkin kalian bisa akrab disana, dan katanya dia masih single, loh,” cerita Miss Irene sambil menggoda. Sam hanya tertawa garing, “Berapa lama Miss kami di Korea?”
“Dua bulan.”

**

Janet meremas lengan Sam kuat-kuat. Matanya membelalak seperti menunjuk sesuatu. Sam menoleh ke samping, mencari tahu apa yang sedang dilihat sahabatnya itu. Seorang pria, sekitar 32 tahun, tinggi, rambut hitam lebat, dan menggunakan kacamata, tidak jelek tapi tidak tampan juga.
“Itu Joshua Park, si fotografer yang pergi denganku?”
“Yes! Kamu yakin kamu akan pergi dengannya selama dua bulan ke Korea?” tanya Janet dengan mimik muka sedih.
“Aku tak punya pilihan lain, Janet, andaikan saja bisa aku tidak mau pergi dengannya.”
“Kau tahu, Sam, reputasi dia di kantor kita sangat terkenal, dia adalah orang yang super dingin, tidak pernah bicara, kaku, dan malah banyak yang bilang kalau dia tidak punya perasaan. Aku sangat mengkhawatirkan kamu,” kata Janet. Sam menggigit bibirnya. Dia juga sering mendengar nama Joshua Park di kalangan manusia-manusia tempatnya bekerja. Seorang yang terlihat sangat mengerikan sampai semua membicarakan dia. Keahliannya di bidang fotografi jurnalisme memang tidak bisa diragukan, tapi mengingat tabiatnya yang kaku seharusnya mengirim Joshua dinas ke luar negri itu perlu dipertimbangkan – setidaknya itulah yang ada di pikiran Sam.
“Kami hanya akan bekerja meliput festival dan beberapa kasus, Janet. Aku dan dia tidak tinggal satu tempat, jadi aku tidak akan banyak bicara dengannya juga.”

**

Langit memerah, matahari sudah terlihat di ufuk. Sam duduk dengan koper besarnya disamping sesosok patung hidup yang bernafas. Sudah nyaris satu jam dia duduk bersama mahluk yang bernama Joshua itu, namun tak ada suara yang dia keluarkan selain suara nafasnya yang halus. Sam mulai gelisah, ia memang bukan tipe gadis yang suka berceloteh seperti Janet, tapi ia juga bukan tipe yang terbiasa dengan keheningan. Ada rasa takut yang diam-diam mengintai di hatinya. Ia memandang lelaki itu, memang tidak tampan dan tidak jelek – tapi sebenarnya ia sangat menarik untuk dipandang.
“Hemmm, salam kenal ya,” akhirnya Sam memecah keheningan, dan mengulurkan tangannya. Lelaki itu menoleh dan balas menjabat tangan Sam.
“Joshua.” Ia dingin, sedingin es.
“Samantha.”
Kembali keheningan merajai. Sam melihat jam tangannya, masih ada satu jam lagi sambil menunggu pintu keberangkatan dibuka.
“Aku baru pertama kali dinas ke luar negri, mohon bimbingannya ya,” kata Sam berbasa-basi. Joshua hanya mengangguk satu kali tanpa menengok ke arah Sam.
“Kau sudah berapa tahun bekerja di koran?” lanjut Sam.
“Ini tahun keenam,” jawab Joshua yang lalu kemudian mengambil earphone dari tas dan menyumpalkan ke telinganya. Sam mendengus. Baru kali ini ia merasa ada seorang pria dewasa yang berpendidikan tapi bersikap tidak sopan pada orang yang baru dikenalnya.

**

Udara sejuk Korea bertiup mengalir di sela rambut Sam, gadis muda itu merasa sangat beruntung bisa pergi dinas ke luar negri meskipun jam terbangnya sebagai jurnalis belum lama. Akhirnya setelah 26 tahun hidup di dunia, baru pertama kali ia menginjakkan kaki di negeri leluhurnya.
“Aku baru pertama kali ke Korea, meskipun ayahku berasal dari sini,” cerita Sam. Joshua hanya terdiam dan terus mengemasi kopernya – Sam menyesal telah mengajaknya bicara.
Lelaki itu kemudian berjalan tanpa menengok ke belakang. Sam melirik ponselnya, dan menghubungi orang yang telah menyewakan apartment selama dua bulan kedepan.
Rasanya lucu ada mitra kerja yang berasal dari kantor yang sama tapi terasa sama sekali tidak ada koneksi. Joshua berdiri mengantri taksi, dan Sam berdiri kurang lebih 1 meter jauhnya, bersama wanita pemilik apartment yang baru saja tiba menjemput.
“Siap untuk berangkat, Miss?” tanya wanita tersebut. Sam merasa kesal tapi ia tahu ia harus melakukan ini. Ia berjalan menghampiri Joshua.
“Kau tidur dimana? Bagaimana aku bisa menghubungimu besok selagi akan bertugas?” Sam mulai ketus.
“Aku punya nomormu, akan kukirim pesan nanti.”
“Joshua, dengan segala hormat, aku tidak ingin pekerjaan ini jadi buruk, jadi aku mohon sebagai rekan kerja yang baik, jangan bersikap seperti ini.”
“Aku akan tinggal di rumahku,” jawab Joshua sambil menghentikan taksi dan pergi meninggalkan Sam yang penuh kekesalan.

Apartment yang tidak besar dan tidak kecil, cukup nyaman untuk tinggal dua bulan kedepan. Sam membaca jadwal pekerjaan yang harus dia selesaikan. Besok ada wawancara dengan seorang pelukis terkenal di Korea. Berarti Sam harus menyelesaikan pertanyaan hari ini dan banyak pertanyaan lain yang harus dibuat. Kepalanya terasa penuh dan perutnya lapar. Tiba-tiba wajah Joshua terbayang. Manusia itu punya rumah di Korea, pasti dia sering pulang kemari, seharusnya dia mengajak Sam pergi untuk berkeliling mencari makanan. Sam melirik ponselnya, tidak ada pesan dari Joshua. Ia pun melihat keluar, langit sudah sangat gelap. Akhirnya Sam memutuskan untuk tidur saja dengan perut lapar.

**

Sam menepuk keras punggung Joshua. Ia kesal sekali.
“Kenapa kau tega, membiarkan teman kelaparan tanpa memberitahu sedikitpun tentang Korea kepadaku?” hardik Sam. Akhirnya Sam bisa tiba di tempat ini atas bantuan Madam Choo – pemilik apartment – dimana akhirnya Joshua mengirimkan pesan.
“Apakah aku orangtuamu sampai harus memikirkan dimana kamu makan?” Joshua hanya berkata pelan sambil mempersiapkan kamera. Sam ingin menangis membayangkan baru hari kedua mereka di Korea.
Wawancara berjalan dengan lancar, Sam merasa sedikit lega, setidaknya ada Yuri yang membantu menerjemahkan Bahasa Korea ke Bahasa Inggris.
“Yuri, aku tidak tahu apa jadinya jika tak ada kamu, dan kalau kamu tidak keberatan, aku ingin makan malam denganmu,” ajak Sam.

Yuri dan Sam cepat menjadi akrab. Gadis yang ceria itu banyak bercerita tentang Korea kepada Sam. Selama makan malam, hanya suara Sam dan Yuri yang terdengar. Joshua terlihat diam menikmati bibimbap-nya. Sam merasa menyesal telah sedikit kasar pada Joshua.
“Kau punya rumah disini ya, apa kau sering pulang ke Korea?” tanya Sam membuka topik. Joshua mengangguk dan tidak mengeluarkan suara sedikitpun.
“Yuri bilang ada ramyun yang enak di dekat tempatku tinggal, apa kau mau makan pagi bersama kami besok?” Sam kembali bertanya.
Joshua meneguk tehnya sampai habis dan meletakkan uang diatas meja. Ia berdiri dan bersiap pergi.
“Aku tidak tertarik. Itu uang untuk semua makanan termasuk yang kalian makan. Besok jam 8 pagi kita pergi Dano festival. Kau punya petanya, kita langsung bertemu di lokasi, ” katanya sambil berbalik dan pergi. Sam menahan tangis yang sudah mendesak dimatanya. Yuri terlihat sangat syok, mungkin baru pertama kali melihat ada pria yang sedingin itu.

**

Yuri terus memuji Sam karena terlihat cantik menggunakan baju tradisional Korea. Sam memang tidak pernah menggunakan hanbok tapi ia merasa sangat nyaman didalamnya. Setelah ikut meramaikan festival dengan mencuci rambut menggunakan air Chang-po, Sam dan Yuri duduk di kedai sambil melihat sepasang pengantin tradisional Korea yang sedang menari di tengah alun-alun desa.
“Kau sudah punya pacar, Sam?” tanya Yuri. Sam menggeleng dan tertawa. Ia tidak perlu bertanya pada Yuri, ia sudah menceritakan banyak tentang suaminya kemarin.
“Joshua sepertinya juga belum menikah, ya?” tanya Yuri lagi. Tiba-tiba mood Sam menurun.
“Siapa juga yang mau menikah dengan manusia patung seperti itu? Pasti dia juga tidak pernah punya orang yang dicintai. Dia tidak punya perasaan,” jawab Sam kesal. Dari kejauhan ia bisa mengamati Joshua yang sedang bertugas. Lelaki tegap itu terlihat cukup keren ketika sedang mengambil foto – Sam mengakuinya dalam hati, tapi amarah lebih membuat kepala Sam terasa pusing.
“Kau tahu, Dano Festival kini sudah jarang dirayakan di kota besar, hanya beberapa daerah saja yang masih kental budayanya,” cerita Yuri mengalihkan pembicaraan yang janggal.
“Yah sayang sekali ya, mulai saat ini aku akan sering ke Korea untuk mengenal lebih jauh, siapa tahu malah masih ada keluarga yang tinggal disini, aku akan tanyakan ke ayahku nanti,” jawab Sam senang.

Malam tiba, Yuri mengajak Sam dan Joshua singgah di rumah orangtuanya di daerah Yeochan-Ri untuk ikut makan dan menikmati musim panas bersama setelah tugas. Orangtua Yuri sangat ramah dan walaupun mereka tahu Sam tidak bisa berbahasa Korea, mereka tetap seru bercerita tentang banyak hal. Dijamu dengan surichiddeok dan makgeolli, sejenis minuman anggur beras yang enak dan memabukkan. Malam terasa sangat hangat, Joshua terlihat duduk di balkon sambil memandangi bintang dengan segelas makgeolli. Ada penasaran yang sangat hebat dibenak Sam, mengapa Joshua bersikap sangat ketus dan dingin. Dimana keluarganya, siapa orang terdekatnya, dan banyak pertanyaan lain yang mengganggu Sam.

Tidak terasa sudah banyak asupan makgeolli yang ditegak Sam. Wajah gadis itu memerah dan ia mulai tertawa sendiri.

**
image source: here

Langit-langit terlihat berbeda dari kemarin. Warnanya putih bersih dan dindingnya berwarna krem. Sam tersadar. Ia tidak ada di apartmentnya. Sam panik dan mendapati dirinya ada di sebuah kamar yang bersih dan tetap berpakaian sama seperti kemarin. Ia melihat jam tangannya, dan menepuk kepalanya keras-keras. Ya Tuhan, drama macam apa ini. Sam tahu banyak drama Korea yang suka ditonton Janet, dan bahkan ada mitos yang berkata jika pergi ke Korea, akan mengalami banyak peristiwa seperti di dalam film. Tapi Sam tidak berharap ada di rumah Joshua, dan yang lebih parah ia telah melewatkan satu sesi wawancara dengan orang-orang besar yang sudah ada di jadwal tugasnya. Sam berusaha mengingat peristiwa semalam tapi ia tidak bisa, kepalanya masih terasa berat. Dengan takut, Sam membuka pintu dan mendapati rumah itu kosong. Tidak ada seorang pun disitu. Sam duduk di bangku kayu di ruang makan. Pikirannya mengawang-awang.
Tak lama kemudian, pintu depan terbuka. Joshua beserta kamera besarnya datang dan memandangi Sam dengan tatapan hampa, tanpa suara. Sam menggigit bibirnya, ia ngeri sekali, taku kalau-kalau Joshua akan murka. Tapi sebaliknya, Joshua menyodorkan sebungkus kotak yang berisi kimbap. Tanpa bersuara, Joshua masuk ke kamarnya dan membiarkan pintu setengah terbuka. Sam tak kuasa menahan rasa penasaran yang ada di dadanya. Ia perlahan berjalan dan mengintip. Punggung Joshua, terlihat tegap dan berkeringat. Lelaki itu sedang memindahkan data dari kameranya ke laptop.
“Aku akan mengirimkan email wawancaranya hari ini ke emailmu,” kata Joshua pelan. Sam terkejut. Ia tidak menyangka Joshua membantu mengerjakan tugasnya. Rasa sesal mengalir bertubi-tubi menyerang, Sam melangkah masuk dan memberanikan diri bicara.
“Maaf, Joshua.”
Joshua tidak bergeming. Sam menahan airmata. Ia sudah memperingatkan dirinya untuk tidak menangis selama bertugas. Dari kecil, Sam kesulitan mengendalikan sifat sensitif yang dimilikinya. Ia tahu ia rapuh, dan mudah menangis. Tak ada suara, bendungan airmata pun runtuh. Sam terisak, bersama Joshua di sampingnya.
“Sudahlah, aku sudah mengerjakan tugasmu, apa yang kau tangisi sih.” Joshua masih saja ketus, tapi Sam tahu satu hal – ada rasa peduli di dalam diri Joshua yang dingin.
“Aku benar-benar minta maaf, Josh…” Joshua berbalik, ia memandang Sam tanpa ekspresi.
“Kau tahu kan rasanya seorang introvert yang terpaksa bicara banyak dengan orang yang tidak dikenal?” tanya Joshua. Sam mengangguk.
“Jadi sekarang keluar dari kamarku, biarkan aku istirahat, dan jangan ganggu aku. Kau boleh pergi sesukamu kalau sudah merasa selesai.” Joshua kembali berbalik dan sibuk dengan laptopnya.

Sam menutup pintu, mengelap air mata, dan menghela nafas. Sam menelan kimbap yang terasa hambar itu. Pikirannya terus merasa bersalah atas hari ini. Sembari berfikir, mata Sam tertuju pada sebuah pintu diujung koridor rumah mungil itu. Ada tulisan “Joshua’s” ditempel disitu. Sam mengerenyitkan dahi, seharusnya ruangan itu adalah kamar Joshua. Ia melangkah pelan dan hendak membuka pintu itu, tapi kemudian Joshua keluar dari kamarnya. Jantung Sam berdegup sangat cepat, ia merasa beruntung Joshua tidak menyadari apa yang sedang ia lakukan.
“Aku mau pergi, kau pulang saja,” kata Joshua singkat.
“Aku ikut!” balas Sam yakin.

Joshua menghembuskan asap rokok ke udara. Sam melihat wajah Joshua, ia belum pernah berada sedekat ini dengan mahluk dingin itu. Guratan halus terlukis jelas di sekitar matanya yang menghitam, pastilah Joshua kurang tidur, mungkin terlalu banyak bekerja.
“Apa yang terjadi kemarin?” tanya Sam.
“Kau mabuk.”
“Kita tidak melakukan apa-apa kan?” tanya Sam lagi. Joshua langsung menatap Sam nanar. Sekejap Sam merasa bodoh dan menyesal telah menanyakan hal konyol itu.
“Aku tidak tertarik padamu,” jawaban Joshua telak mengenai hati Sam yang rapuh. Dalam hitungan detik Sam merasa sangat jelek dan tidak berarti.
“Maaf Josh, aku reflek, sepertinya aku terlalu banyak menonton film,” balas Sam mengelak, berusaha mengusir pikiran bodoh di dalam hatinya yang diam-diam mengharapkan sesuatu. Keheningan terus berkuasa. Sam sadar ada banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan pada Joshua. Seperti magnet, aura misterius Joshua sudah mempermainkannya.
“Kau sudah menikah, Josh?” tanya Sam. Joshua mengambil lagi rokok dari kotak dan menggeleng pelan.
“Punya pacar?” lanjut Sam. Joshua kembali menatap Sam – hal yang jarang dilakukannya, paling tidak bisa dihitung dengan jari sepanjang perjalanan mereka bersama di Korea.
“Apa itu masuk dalam job-desk mu untuk bertanya?” intonasi Joshua meninggi.
“Aku hanya ingin menjadi temanmu,” jawab Sam pasrah, seluruh inti dari isi hatinya keluar. Joshua menghela nafas dan mematikan rokoknya yang baru menyala.
“Dulu pernah ada,” ucap Joshua pelan sambil melangkah pergi. Ada semburat rasa bahagia di hati Sam mendengar jawabannya, bukan karena ia tertarik pada Joshua, tapi baru pada detik itu Sam merasa Joshua adalah teman.


image source: here

**

Hari demi hari berlalu. Berulang kali Sam mengatakan pada dirinya kalau Joshua adalah teman. Tetapi kenyataan tidak seperti yang dia harapkan. Joshua tetaplah Joshua yang dingin, ketus, dan tidak banyak bicara – nyaris tidak pernah. Ia hanya bicara mengenai tugas yang harus dilakukan, dan beberapa kali soal makanan. Meskipun begitu, dalam hatinya, Sam yakin Joshua adalah orang yang baik dan bijaksana. Entah ada perasaan nyaman yang aneh dan tidak bisa dideskripsikan. Bekerja satu tim dengan Joshua adalah hal yang tidak Sam sesali, ia sangat professional dan tidak ada kecacatan dalam tugasnya. Meskipun begitu, rasa bosan terus menghantui Sam di kala malam datang. Satu-satunya hal yang membuatnya bertahan ceria adalah kalender. Satu minggu tersisa di Korea.

Sam tahu drama harus terjadi saat ia mendapati pompa air di apartmentnya rusak dan tidak ada persediaan air bersih lagi. Madam Choo mengembalikan beberapa won kepada Sam dan meminta maaf atas kejadian yang tidak enak tersebut. Entah mengapa Sam langsung mengirim pesan kepada Joshua, ia merasa tidak ingin menginap di hotel. Tanpa memiliki ekspetasi, ternyata Joshua menawarkan Sam untuk tinggal di rumahnya. Hati Sam terasa senang, sebuah perasaan mahal yang jarang bisa terjadi.

Malam itu, tanggal 19 Juni, pukul 11.55 malam. Sam tidak bisa tidur. Ia menyesal sudah minum kopi sore tadi. Ia membuka pintu kamarnya, dan mendapati Joshua tertidur di ruang tamu dengan tv yang masih menyala. Sam mendekat. Wajah Joshua terlihat begitu jelas, Sam memandanganya dengan banyak pertanyaan didalam hati. Terlihat begitu pulas, damai, dan hangat. Sam mengambil selimut dari kamar Joshua dan menyelimuti tubuh lelaki itu. Sam terus memandangi wajah Joshua, sampai pandangannya teralih kepada ponsel Joshua yang menyala. Sebuah pop-up pesan singkat tertulis di layar ponsel.

From: Eun Bi
Happy birthday, Joshua.

Sam menutup mulutnya, hari ini tepat 20 Juni, Joshua berulang tahun. Ada sedikit sukacita di dalam hati Sam, ia merencanakan akan membuat kejutan kecil besok.
Tiba-tiba Sam teringat akan pintu yang waktu itu mengganggu pikirannya. Perlahan Sam melangkah menuju pintu itu. Rasa berdebar mengalun didadanya, ia seperti hendak membuka sebuah pintu kemana saja. Dibukanya pintu kayu itu pelan-pelan, dan apa yang dilihat mata Sam, tidak akan pernah ia lupakan di seluruh masa hidupnya.

Sebuah kamar berisi kasur ukuran besar yang bersih, dinding berwarna kuning muda yang cantik dan di dekat lemari ada sebuah foto kanvas besar. Ada Joshua, dengan seorang wanita muda yang cantik. Joshua terlihat sangat berbeda. Senyumnya lebar, wajahnya memancarkan kebahagiaan yang besar. Sam menutup mulutnya, masih tidak percaya akan penglihatannya. Ia tidak pernah melihat Joshua tersenyum satu kalipun selama ini, apalagi tertawa. Joshua terlihat sangat tampan dengan senyum lebarnya. Di sudut ruangan, terdapat tumpukan kardus dan Sam tidak sanggup menahan rasa ingin tahunya. Ia membuka kardus itu dan mendapati banyak baju perempuan di dalamnya. Pikiran negatif membanjiri benak Sam, ada ketakukan majemuk yang ia rasakan. Sam menemukan sebuah ponsel di meja di sudut lainnya.

12.00 am
From: Eun Bi
Happy birthday, Joshua.

Pesan yang sama. Rasa ingin tahu Sam semakin menggila. Ia membuka ponsel yang tidak dikunci itu, dan kemudian muncul sebuah video yang datang bersamaan dengan pesan singkat itu. Seorang wanita muda yang sangat cantik, mengenakan topi wol kuning, dengan mata bersinar wanita itu menyanyi.

Happy birthday Joshua
Happy birthday Joshua
Happy birthday, happy birthday
Happy birthday my dear Joshua

Lalu tiba-tiba tampak kekacauan di video itu, banyak orang yang berteriak di belakang wanita tersebut. Sudut pandang kamera pun tidak beraturan, terlihat wanita itu sepertinya berlari dan berteriak keras. Dan kemudian video itu terhenti dengan pemandangan terakhir adalah langit yang bergemuruh. Sam tercekat, ia membeku dan pikirannya terguncang.

Sam tertunduk dan tenggorokannya tersumbat. Ia duduk dengan ringkih di sudut ruangan yang lembap itu. Tangan dan badannya mulai bergetar lembut. Air mata mulai mengalir deras dan perasaanya tercampur aduk. Ia merasa sangat sedih, lebih dari sekedar sedih.

“Kenapa kau ada disini?” Joshua tiba-tiba datang dan mendapati Sam sedang menggugu dengan tangisannya. Sam memandang Joshua, yang terlihat buram dibalik airmatanya. Reaksi Joshua berbeda dari yang ia pikirkan. Joshua duduk mendekat kearah Sam. Matanya sayu, kepalanya tertunduk dan ia ikut menangis bersama Sam.

Sam bisa melihat ada airmata yang jatuh dari mata Joshua. Dia bukan robot, dia punya perasaan, hati yang paling rapuh yang pernah Sam temui. Tanpa ragu Sam memeluk Joshua dan dalam beberapa waktu Joshua menangis dalam pelukan Sam. Menit-menit itu adalah waktu dalam hidup Sam yang paling emosional – dan juga Joshua.

**

“Eun Bi mencoba sekolah di California demi mencapai cita-cita menjadi seorang penyanyi broadway. Aku tahu suaranya tidak terlalu bagus, tapi aku percaya akan mimpinya, suatu saat ia akan menjadi orang hebat.”
Sam memandang Joshua penuh kasih, untuk pertama kalinya, Joshua berkata-kata banyak dengan cerita di bibirnya. Terlalu banyak ‘pertama kali’ yang terjadi di malam itu, yang mengubahkan cara pikir mereka.
“Sudah lima tahun kami bersama, tahun kelima itulah, di ulang-tahunku yang kelima bersamanya, aku ingin pergi ke California untuk melamarnya. Eun Bi tidak pernah lupa menyanyikan Happy Birthday untukku setiap 19 Juni malam. Aku sudah membeli tiket tanpa memberitahukan padanya.”
Sam mengelus tangan Joshua. Lelaki itu sesekali melempar senyum kecilnya.
“Eun Bi meninggal karena badai tornado di hari ulang-tahunku yang ke 25, tepat setelah ia menyanyikan lagu itu untukku. Sejak saat itu, aku selalu mengirimkan pesan video Eun Bi ke semua ponselku secara otomatis setiap 19 Juni tengah malam.”
“Josh, aku minta maaf, aku turut berdukacita atas apa yang menimpa Eun Bi.”
Joshua menggeleng. Ia tertawa disela tangisnya yang mulai terhenti.
“Maaf ya, aku terlalu emosional,” kata Joshua. Sam tersenyum.
“Aku lebih suka Joshua yang ekspresif seperti ini,” kata Sam.
“Aku tidak ingin membina hubungan dengan siapapun semenjak kematian Eun Bi. Aku tidak ingin mengalami rasa sakit yang sama ketika kehilangan seseorang. Tidak ada hubungan, maka tidak akan ada rasa sakit,” cerita Joshua. Sam tidak membantah, tapi ia juga tidak setuju. Sam mendekat ke arah Joshua, dan mencium bibirnya lembut. Ada perasaan rapuh seperti abu yang tersirat dibalik dinginnya seorang Joshua, begitu kental terasa didalam sentuhan bibirnya. Sam mampu merasakan kepedihan yang dirasakan Joshua, dan entah kenapa Sam tak ingin Joshua terpuruk di keadaan yang sama terus-menerus.

“Josh, aku yakin Eun Bi akan lebih bahagia kalau kamu bisa merelakannya disana, aku juga yakin, dia mau kau melanjutkan hidupmu dengan bahagia,” kata Sam. Joshua tersenyum, mungkin itu akan jadi senyuman favorit Sam.
Thanks Sam, aku tidak menyangka bisa sejujur ini dengamu,” balas Joshua.
“Tidak apa-apa, kau bisa bercerita apapun padaku. Lagipula kita pulang ke California besok kan, kau bisa kembali ke rutinitas dengan wajah yang baru!” kata Sam semangat. Joshua memandang Sam lembut dan menggeleng.
“Ini adalah tugas terakhirku di kantor, dan juga California. Aku akan kembali ke Korea untuk seterusnya, Sam.”

**

20 June. Today sun shines so bright as usualThis is your special day, because this is your birthday. Brand new day has come. Let go of the past, as you breathe for another year.  Thankyou for your presence in my life. You’re the sweetest and you’ll always be. Time flies so fast we all know, and I hope time won’t fade your smile away. I wish the best for you for everything that you do. May all your wishes come true. Happy birthday.

Samantha Kim.


image source here


Comments

Form for Contact Page (Do not remove)