Latest Stories

Sydney, Dipanggil Mereka || Sebuah Alegori


Kata orang, sulit untuk tidak sayang padanya. Dia sudah mulai populer ketika kami masih menginjak bangku sekolah dasar. Umurnya tidak beda jauh, hanya beberapa bulan denganku. Memang dia pandai bergaul, temannya banyak, wajahnya enak dilihat dan suaranya bagus. Paling tidak itu yang aku ingat tentang dia waktu dulu. Tidak ada kata terucap setelah hari itu, baru sampai detik ini, aku melihat sosoknya lagi. Memang benar, sulit untuk tidak memandanginya lama-lama.


Kami sudah sama-sama dewasa. Sekilas tidak banyak yang berubah dari dirinya, ia tetap enak dilihat, semua orang suka padanya, begitu juga aku. Mungkin butuh ratusan skenario di kepalaku untuk bisa berani bicara kepadanya tanpa terasa kikuk - aku punya sejuta alasan untuk tidak melakukannya. Tapi tidak untuk hari ini. Kami bertemu, bukan sebuah kebetulan. Kuasa di atas sana yang sudah mengatur ini semua, maka aku harus tegas dan mengeluarkan yang terbaik.

"Halo, sudah lama ya? Maaf ya," Sydney duduk, tepat di depanku, aku berhenti melamun.

"Oh hai, Sydney, apa kabar?"

Dia terlihat sedikit sibuk. Membuka jaket, meletakan tas ke bangku sebelah, membetulkan jam tangan, merapikan rambutnya, baru ia melihat ke arahku.

"Mau minum apa? Aku pesankan ke baristanya," tanyanya. Aku menggeleng. Dia memandangi buku menu, dan aku memandangi matanya yang berwarna cerah. 

"Yakin kamu gak mau minum? Banyak orang bilang cold brew disini enak loh, lumayan kan bisa bikin otak bangun," katanya sambil meringis. Aku tahu jelas dia suka kopi. Aku sih, biasa saja.

"Gak, Syd, aku sudah bawa minum dan makan dari rumah, biar irit," jawabku lirih. Ya dia kan anak orang berada, beda denganku. Dia tersenyum manis, "Besok-besok kita ngopi bareng ya," dan pergi menuju barista bar.

Kata temanku, kalau mau dekat dengan seseorang, kita harus belajar untuk mengikuti gaya hidupnya, minimal menyukai apa yang mereka sukai. Memang agak menyeramkan, tapi aku sudah punya detail apa yang Sydney suka. Aku akan belajar untuk minum kopi. Dan, oh, dia bicara sangat cepat, aku harus lebih konsentrasi.

"Sydney, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk ketemu," kataku, aku benar-benar senang.

"Duh jangan begitu, senang bisa ketemu sama kamu! Mulai saat ini kita harus sering ketemu ya, ajak  yang lain juga, the more the merrier!" dia tertawa. Giginya tersusun rapi dan bersih, jelas terlihat dia merawat dirinya. 

Dua jam duduk bersama dia, rasanya seperti dua menit. Begitu banyak hal bisa kami bicarakan, aku tidak merasa kikuk lagi. Dia sangat pandai bergaul, pantas saja temannya banyak. Rasa nyaman ini benar-benar tidak bisa dibohongi. Tapi tidak ada yang pernah tahu siapa yang ada di hatinya. Dia begitu membaur dengan semua orang, tidak pernah terlihat setia kepada seseorang - mungkin dia masih mencari.

Sayang waktu berjalan terus, kami harus berpisah karena dia ada janji dengan orang lain, mau kursus masak katanya. Padahal keluarganya punya rumah makan. Dia seorang pekerja keras.


**

Hari ini aku diundang Sydney bersama teman-temannya, memanggang daging di pinggir pantai. Sungguh memang ekstrovert yang suka dengan keramaian.

Udara sejuk lembut membawa aroma daging panggang membuat perutku semakin berbunyi. Sydney terlihat sangat keren, padahal dia hanya pakai kaos putih dan celana jeans belel. Pasir masih menempel di betis dan pipinya, seirama dengan tato ombak di lengannya, menjelaskan betapa dia cinta dengan pantai dan laut.


Aku belajar banyak darinya. Semakin dekat dengannya membuatku menjadi lebih mengalami arti persahabatan dan yang paling penting, semua momen hanya bisa dinikmati satu kali. Jangan pernah meremehkan detail kecil di setiap pertemuan dengan orang yang kita kasihi, karena mungkin itu tidak akan terulang lagi.

Aku kenal beberapa teman dekatnya seperti Bondi, Mascot, Artarmon, Maroubra, MacArthur, dan Kellyville, mereka cukup dekat denganku sekarang, semuanya punya karakter masing-masing dan memberikan harmoni bagi persahabatan ini. Tanpa orang-orang ini, Sydney merasa "tidak hidup" dan bosan.

"Ayo makan! Cheers!" santapan daging panggang sambil bersulang wine, hidup ini indah. 

Dibalik senyum dan tawanya yang seolah "main-main", aku tahu Sydney punya banyak nilai yang berharga lain di dalam dirinya. Tentang kerja keras, toleransi, keluarga, dan doa.
Aku memandangi wajahnya, setiap kerutan kecil di matanya saat dia terbahak membuatku tersenyum senang bisa melihatnya sedekat ini. Aku tahu dia menghargaiku, dia begitu baik kepadaku, tapi rasanya beda. Memang aku tidak akan bisa memiliki dia, jangan tanya kenapa. Kadangkala ada banyak hal yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, tapi mengertilah dan aku pun ikhlas.

Dimulai dari secuil keberanian dan mimpi, aku tidak pernah menyangka bisa sedekat ini dengannya, menjadi inner circle nya, dan orang lain bilang aku berubah menjadi lebih baik. Dia membawa pengaruh baik untukku, tapi sayang cinta tidak memilih sendiri.
Aku berjanji dalam hati akan selalu mengaguminya, dia pun tahu itu. Dia bilang datang saja ke rumahnya kapanpun aku mau dan sempat.


**

Malam itu udara cukup dingin. Aku sudah bersiap untuk tidak menangis, lakukan saja itu didalam hati. Sydney ada di depanku, memberikan senyumnya yang paling indah. Dia memelukku hangat dan aku bisa merasakan jemari dinginnya menyentuh punggungku.

"Terima kasih, kamu begitu baik padaku, aku tidak akan pernah lupa sama kamu," kataku lirih. Matanya berkaca-kaca. Dia menepuk pipiku pelan.

"Anak bodoh, terlalu dramatis. Memangnya susah untuk bertemu? Kita tidak sejauh itu. Paling tidak, hati kita terhubung," katanya mencoba meniru aku yang selalu berpuisi. Aku tertawa dan mengangguk, mengakui bahwa kita memang tidak jauh meskipun nantinya kelak dia akan lupa denganku. Terlalu banyak hal yang akan dia lakukan dengan masa depannya, aku tidak akan ada di daftar itu. Aku sudah bilang kan kalau aku ikhlas.

"Hari terakhir mari kita rayakan dengan yang manis-manis," kataku dan dia kemudian memberikan gelato rasa kacang coklat untukku. 
"Ini kukiman, rasa favoritku, kamu harus ingat."

Kami berdua memandang langit gelap yang berselaras dengan cerahnya lampu gedung-gedung. Suara ombak kecil di pinggir dermaga membuatku semakin sedih berpisah dengannya. Mulai saat ini, kalau aku melihat laut, aku akan selalu mengingat Sydney.

"Time has come, sampai bertemu lagi," dengan berat aku memeluknya sekali lagi. 

"Apapun yang kamu kerjakan nanti, ingat semua yang kita pernah lewati bersama," katanya. Dia pun berjalan ke arah yang berlawanan denganku sambil melambaikan tangannya, aku bisa melihat jelas ada ombak kecil disana.

"Cheers mate!"

Bayangannya hilang ditelan malam, dan aku sudah mulai merindukannya..






Sydney NSW.
2017-2018.

Comments

Form for Contact Page (Do not remove)